COVID-19 DAN STIGMA MASYARAKAT
Perjalanan corona virus atau covid-19 di Indonesia di mulai pada awal Maret, pada saat presiden Joko Widodo menggumumkan dua orang yang terjangkit covid-19, kedua pasien tersebut sempat melakukan kontak dengan warga Jepang yang singgah di Indonesia, semenjak penggumuman tersebut, covid-19 menjadi isu yang menyita banyak perhatian dari hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, hingga kini jumlah orang yang positif terjangkit covid 19 ini mencapai 13,112, meninggal 943 dan sembuh 2,494 (Nasional, 2020), dengan jumlah paling banyak berada di DKI Jakarta sebanyak 4,955 positif, 424 sembuh dan 745 meninggal, sedangkan Jawa Barat mencapai 1404 positif, 92 meninggal dan 184 meninggal, di provinsi Jawa Timur sendiri jumlah positif mencapai 1,284, meninggal 138 dan 215 sembuh (KOMPAS, 2020). Jumlah yang setiap harinya meninggkat membuat pemerintah di tuntut bekerja ekstra keras dalam menanggani wabah ini, meskipun sudah beberapa regulasi serta program pencegahan sudah di lakukan pemerintah seperti melakukan test massal meskipun belum massif, pembatasan sosial (social Distancing) hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah di terapkan di beberapa daerah di Indonesia,
dilingkup masyarakat masalah yang timbul sedikit bertambah dimana selain permasalahan wabah ini terdapat permasalahan yaitu stigma terhadap orang yang positif covid-19, stigma adalah tanda atau ciri yang menandakan pemiliknya membawa sesuatu yang buruk dan oleh karena itu dinilai lebih rendah dibandingkan dengan orang normal (Goffman, 2003) Proses terjadinya stigma sendiri dibagi menjadi tiga tahapan, pertama Proses Interpretasi yaitu Adanya pelanggaran norma di masyarakat diinterpretasikan masyarakat sebagai penyimpangan yang dapat menimbulkan stigma. kedua Proses Pendefinisan, Orang yang dianggap berperilaku menyimpang, setelah pada tahap interpretasi terhadap perilaku yang menyimpang, maka tahap selanjutnya adalah proses pendefinisian orang yang dianggap berperilaku menyimpang oleh masyarakat. Ketiga Perilaku Diskriminasi, Tahap selanjutnya setelah proses kedua dilakukan, maka masyarakat memberikan perlakuan yang membeda-bedakan (diskrimnasi),
dalam kasus orang yang positif covid-19, stigma yang di sematkan masyarakat berupa ucapan(cibiran) dan perilaku diskriminasi terutama pasien dan keluarga yang positif covid-19, selain itu, stigma buruk juga diterima oleh beberapa tenaga medis (perawat) yang bekerja menanggani wabah ini, mereka bahkan sempat tidak di terima di lingkungan mereka, bahkan diusir oleh warga sekitar. keadaan yang semakin miris adalah penolakan Jenazah positif covid-19, dimana kurangnya pemahaman dan sikap paranoid yang berlebihan membuat stigma lebih berbahaya dari virus ini sendiri. Beberapa faktor seperti minimnya informasi, minimnya penyuluhan akan dampak virus ini utamanya masyarakat perdesaan, nalar agama juga kerap digunakan dalam untuk menyematkan stigma kepada orang positif covid-19 (seperti terkena azab), serta sikap paranoid yang berlebihan, masih menjadi bayang-bayang yang menyelimuti di antara wabah ini, untuk itu diperlukanya peran pemerintah, tokoh masyarakat, serta masyarakat agar muncul kesadaran dan dapat menghilangkan stigma-stigma yang selama ini berlangsung.
alternatif
Stigma sendiri erat kaitanya dengan komunikasi, layaknya dua sisi mata uang, komunikasi berperan dalam proses kontruksi makna dan penyebaran stigma, namun, disisi lain komunikasi dalam menjadi solusi untuk meredam gejolak stigma di masyarakat. Komunikasi dua arah atau dialog bisa menjadi salah satu alternatif untuk meredam stigma. Komunikasi dua araha atau dialog dapat dilakukan dengan mendatangkan pihak pemerintah sebagai orang yang akan menjawab semua persoalan yang ditanyakan oleh masyarakat seputar virus ini. pada dasarnya proses dialog dua arah ini tidak jauh berbeda dengan sosialisasi yang biasa dilakukan, namun, titik penting dari dialog ini adalah bagaimana cara memposisikan diri sekaligus merasakan apa yang dirasakan oleh pasien positif covid-19. Sehingga ketika proses dialog ini dilaksanakan dengan penuh kesadaran maka pesan dan apa yang disampaikan lebih mengena, dengan itu diharapkan dapat memunculkan rasa empati dan solidaritas di tengah-tengah masyarakat.
Disamping itu peran tokoh masyarakat dan pemuda-pemuda setempat harus dimaksimalkan guna memberikan penyuluhan dan sebagai media untuk bertanya dan mencari solusi dalam menghadapi covid-19. Selain itu para pemuda juga harus lebih intens lagi dalam menggelola dan meyebarkan informasi, supaya informasi yang diperoleh tidak dimaknai salah oleh sebagian masyarakat dan tidak adanya salah faham dari informasi yang didapatkan, diharapkan dengan dilakukan nya gerakan tersebut dapat menjadi stimulus moril bagi para pasien psotif covid-19 untuk sembuh. Presiden juga sudah memberikan pesan penting dalam menyikapi wabah ini. dalam video resmi istana tentang optimisme dan sikap bijak dalam menghadapai virus corona, masyarakat tidak perlu takut dan panik secara berlebihan dan bijak dalam menyampaikan berita supaya terhindar dari berita hoax, masyarakat harus yakin pada fakta, informasi yang valid, yang nantinya dapat memumculkan solidaritas dan empati di masyarakat.
Daftar Pustaka
dilingkup masyarakat masalah yang timbul sedikit bertambah dimana selain permasalahan wabah ini terdapat permasalahan yaitu stigma terhadap orang yang positif covid-19, stigma adalah tanda atau ciri yang menandakan pemiliknya membawa sesuatu yang buruk dan oleh karena itu dinilai lebih rendah dibandingkan dengan orang normal (Goffman, 2003) Proses terjadinya stigma sendiri dibagi menjadi tiga tahapan, pertama Proses Interpretasi yaitu Adanya pelanggaran norma di masyarakat diinterpretasikan masyarakat sebagai penyimpangan yang dapat menimbulkan stigma. kedua Proses Pendefinisan, Orang yang dianggap berperilaku menyimpang, setelah pada tahap interpretasi terhadap perilaku yang menyimpang, maka tahap selanjutnya adalah proses pendefinisian orang yang dianggap berperilaku menyimpang oleh masyarakat. Ketiga Perilaku Diskriminasi, Tahap selanjutnya setelah proses kedua dilakukan, maka masyarakat memberikan perlakuan yang membeda-bedakan (diskrimnasi),
dalam kasus orang yang positif covid-19, stigma yang di sematkan masyarakat berupa ucapan(cibiran) dan perilaku diskriminasi terutama pasien dan keluarga yang positif covid-19, selain itu, stigma buruk juga diterima oleh beberapa tenaga medis (perawat) yang bekerja menanggani wabah ini, mereka bahkan sempat tidak di terima di lingkungan mereka, bahkan diusir oleh warga sekitar. keadaan yang semakin miris adalah penolakan Jenazah positif covid-19, dimana kurangnya pemahaman dan sikap paranoid yang berlebihan membuat stigma lebih berbahaya dari virus ini sendiri. Beberapa faktor seperti minimnya informasi, minimnya penyuluhan akan dampak virus ini utamanya masyarakat perdesaan, nalar agama juga kerap digunakan dalam untuk menyematkan stigma kepada orang positif covid-19 (seperti terkena azab), serta sikap paranoid yang berlebihan, masih menjadi bayang-bayang yang menyelimuti di antara wabah ini, untuk itu diperlukanya peran pemerintah, tokoh masyarakat, serta masyarakat agar muncul kesadaran dan dapat menghilangkan stigma-stigma yang selama ini berlangsung.
alternatif
Stigma sendiri erat kaitanya dengan komunikasi, layaknya dua sisi mata uang, komunikasi berperan dalam proses kontruksi makna dan penyebaran stigma, namun, disisi lain komunikasi dalam menjadi solusi untuk meredam gejolak stigma di masyarakat. Komunikasi dua arah atau dialog bisa menjadi salah satu alternatif untuk meredam stigma. Komunikasi dua araha atau dialog dapat dilakukan dengan mendatangkan pihak pemerintah sebagai orang yang akan menjawab semua persoalan yang ditanyakan oleh masyarakat seputar virus ini. pada dasarnya proses dialog dua arah ini tidak jauh berbeda dengan sosialisasi yang biasa dilakukan, namun, titik penting dari dialog ini adalah bagaimana cara memposisikan diri sekaligus merasakan apa yang dirasakan oleh pasien positif covid-19. Sehingga ketika proses dialog ini dilaksanakan dengan penuh kesadaran maka pesan dan apa yang disampaikan lebih mengena, dengan itu diharapkan dapat memunculkan rasa empati dan solidaritas di tengah-tengah masyarakat.
Disamping itu peran tokoh masyarakat dan pemuda-pemuda setempat harus dimaksimalkan guna memberikan penyuluhan dan sebagai media untuk bertanya dan mencari solusi dalam menghadapi covid-19. Selain itu para pemuda juga harus lebih intens lagi dalam menggelola dan meyebarkan informasi, supaya informasi yang diperoleh tidak dimaknai salah oleh sebagian masyarakat dan tidak adanya salah faham dari informasi yang didapatkan, diharapkan dengan dilakukan nya gerakan tersebut dapat menjadi stimulus moril bagi para pasien psotif covid-19 untuk sembuh. Presiden juga sudah memberikan pesan penting dalam menyikapi wabah ini. dalam video resmi istana tentang optimisme dan sikap bijak dalam menghadapai virus corona, masyarakat tidak perlu takut dan panik secara berlebihan dan bijak dalam menyampaikan berita supaya terhindar dari berita hoax, masyarakat harus yakin pada fakta, informasi yang valid, yang nantinya dapat memumculkan solidaritas dan empati di masyarakat.
Daftar Pustaka
- Goffman, E. (2003). Stigma. L'identita negata .
- Hakim, L. (2020, April ). Meredam Stigma Corona . Retrieved from detik news : http://m.detik.com/news/kolom/d-4979149/meredam-stigma-corona
- KOMPAS, T. (2020, Mei Jumat). DATA COVID-19 DI INDONEISA. Retrieved from Kompas.com: http//www.kompas.com/covid 19
- Nasional, T. k. (2020, Mei Jumat). Pasien Sembuh Covid 19 Naik jadi 2,494. . Retrieved from Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19: https://covid-19.go.id/p/berita/pasien/sembuh-covid 19-naik-jadi-2494-kasus-meninggal-943-orang
- Setiawan, R. R. (2020, April 05). mereka yang melawan stigma dan berusaha sembuh dari covid-19. Retrieved from Alinea.id: https://www.aliena.id/nasional/mereka-yang-melawan-stigma-dan-berusaha-sembuh-dari-covid 19-b1ZLI9tc8
Komentar
Posting Komentar